Wednesday, April 6, 2011

No Feast Last Forever

   Madame Wellington Koo atau Oei Hui Lan ialah anak dari Raja gula Semarang yang sangat terkenal, yaitu Oei Tiong Ham. Kekayaan yang tidak ada habisnya dari ayahnya ternyata tidak pernah bisa memberikan kebahagiaan padanya. Hidup serba berkelimpahan di istananya di Semarang-Indonesia di masa pemerintahan Hindia Belanda, melewatkan masa mudanya di Paris, London, Amerika, hingga China saat berkeluarga, menjadi socialita terpandang di kaum elit Eropa, menjadi istri Wellington Koo, orang nomor dua di China saat itu ternyata juga tidak juga bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepadanya.

   Dilahirkan sebagai anak kedua dari istri sah Oei Tiong Ham, Oei Hui Lan seolah menggenggam dunia dalam tangannya. Ayahnya yang kaya raya selalu memanjakannya dengan memberi apapun yang Ia inginkan, bahkan sampai membuatkan kebun binatang di istananya (istana mereka hingga saat ini masih ada di Semarang, namun sudah menjadi sebuah universitas swasta). Akan tetapi, tidak demikian dengan ibunya. Ibunya lebih menyayangi kakakanya, Oei Tjong Lan, dan lebih suka berfoya-foya membelanjakan uang ayahnya untuk membeli permata, berlian, emas, perhiasan mewah, dan baju-baju mahal hingga ke luar negeri demi menutupi kesedihannya akan kebiasaan buruk ayahnya yang memiliki banyak selir dan anak di luar nikah.

   Kekayaan yang dimiliki oleh ayahnya ternyata justru mengancam kehidupan Oei Hui Lan beserta ibu dan kakaknya yang merupakan keluarga sah dari Oei Tiong Ham. Dengan keberadaan 18 selir dan 42 anaknya, keberadaan Hui Lan, ibu dan kakaknya selalu terancam. Para selir selalu berusaha untuk menggantikan ibu Hui Lan untuk menjadi istri sah ayahnya dan menguasai seluruh harta ayahnya. Ayahnya, Oei Tiong Ham, yang dikenal sebagai Raja Gula, bahkan orang terkaya se-Asia Tenggara saat itu memiliki pabrik tidak hanya di Pulau Jawa, tapi juga Singapura, London, Paris, Cina, dan kota lainnya. Dengan kekayaan ayahnya, Hui Lan dibekali kehidupan bergelimangan harta, pakaian mewah, perhiasan mahal yang menunjukkan kastanya, berbagai kursus seperti berkuda hingga kursus bahasa yang membuatnya menguasai 4 bahasa termasuk Inggris dan Perancis.


   Semua itu ternyata masih membuat Hui Lan tetap mencari-cari kasih sayang di luar keluarganya. Pernah sekali waktu saat Ia, ibu dan kakaknya berlibur ke Singapura, Ia menemukan cinta pertamanya yang ternyata ialah seorang pria beristri. Pengalaman pahit itu membuatnya malas untuk menjalin hubungan lagi dengan pria, dan menyetujui ibunya untuk pindah tinggal ke London bersama kakaknya yang telah menikah.

   Saat mulai masuk menjadi penghuni kota London, Hui Lan dan ibunya menjadi orang yang sangat norak dan terkesan pamer. Ibunya yang terobsesi untuk menjadikan Hui Lan wanita terpandang dan bisa berbaur dengan para socialita membekali Hui Lan dengan gaun-gaun mewah dan perhiasan mahal setiap mereka akan mengunjungi pesta. Mulai asyik dengan kehidupan barunya, Hui Lan menjadi sangat terbiasa berpesta, mengikuti acara para socialita Eropa, berteman dengan keluarga kerajaan, bergaul dengan pria bule, hingga terbiasa dengan kebiasaan ibunya untuk memberikan perhiasan mahalnya ke orang yang dekat dengannya.

   Tapi semua itu tetap membuat Hui Lan merasa tidak puas. Ia selalu mencoba mencari cara untuk membahagiakan dirinya, tapi tidak pernah menemukannya.Obsesi ibunya untuk membuat Hui Lan menjadi orang terpandang akhirnya membuatnya harus menjalani kehidupan pernikahan tanpa cinta. Menikahi Wellington Koo, orang nomor dua di China, yang menjadi duta besar Cina untuk Amerika dalam rangka memerdekakan China memang membawanya ke kehidupan yang jauh lebih tinggi kastanya. Ia mulai dikenal oleh semua pembesar negara-negara yang menjalin hubungan dengan China, berbaur dengan berbagai keluarga presiden, kerajaan, menteri dan anggota pemerintahan dengan strata atas.

   Dalam pernikahannya, suaminya tidak pernah memberi uang yang cukup seperti ayahnya. Karena terbiasa dengan harta dan kehidupan mewah, Hui Lan pun tak pernah segan mengeluarkan uang pribadinya untuk membahagiakan hidupnya. Mulai dari merenovasi rumah, menghias dirinya seperti kebiasaannya, memelihara banyak anjing sebagai temannya, dan masih banyak hal lainnya yang berujung kecurigaan media China akan mewahnya pola hidup Hui Lan yang saat itu lebih dikenal sebagai Madame Wellington Koo.



   Hal itu tetap tidak membuatnya kapok, Hui Lan tetap memakai uang sesuka hati, bahkan meminta uang pada ayahnya untuk segala keperluannya. Sampai suatu ketika, Ia, suami dan anaknya mengunjungi Singapura untuk bertemu ayahnya yang ternyata telah menikah lagi dengan keponakan ibunya, Ia sangat kaget dengan pola hidup ayahnya yang telah berubah 180o. Ayahnya yang kaya raya malah hidup sederhana, bahkan cenderung prihatin untuk ukurannya. Hidup di ruko kecil di daerah kumuh, jauh sekali dari ingatannya tentang istana mereka saat di Indonesia. Ia berpikir dan bertanya mengapa ayahnya mau memilih kehidupan seperti itu, namun sepertinya Ia belum mengerti keputusan ayahnya.

   Ia masih terus hidup berfoya-foya, sampai akhirnya Perang Dunia Kedua merenggut seluruh hartanya di China. Ia hanya bisa meratapi semuanya, namun tetap tidak mau merubah pola hidupnya yang bak putri di pesta dansa. Kepergian satu- persatu dari ayahnya, ibunya, lalu disusul kakaknya akhirnya mulai menyadarkannya akan  harta yang ternyata tidak bersifat kekal, dan malah menghancurkan keluarga mereka.

   Di usianya yang mulai tua, tanpa keluarga yang telah meninggalkannya, hanya tersisa anak-anaknya, tanpa suaminya yang telah menikah lagi dengan wanita lain, Hui Lan mulai merasa kesepian tinggal di rumah besar dan megah. Ia pun memilih untuk tinggal di apartemen seorang diri, dengan terlebih dahulu membekali anak-anaknya dengan rumah-rumah pribadi. Perampokan yang terjadi di apartemen kecilnya di Amerika saat usianya telah tualah yang akhirnya semakin menyadarkannya bahwa Ia tidak bisa selalu hidup memamerkan hartanya, dan membawa-bawa hartanya ke manapun Ia pergi. Ia pun mulai menyimpan seluruh harta dan perhiasan mewahnya di bank, dan hanya menyisakan sedikit di apartemennya.

   Kehidupannya yang bergelimangan harta, namun tetap tidak bisa membeli cinta dan kebahagiaan terasa begitu sayang baginya untuk dilewatkan. Bersama temannya, Hui Lan pun membuat sebuah buku kisah perjalanan hidupnya yang hanya terbit di Amerika, berjudul “No Feast Last Forever”, sesuai dengan jalan hidup yang akan ditempuh semua orang. Tidak ada pesta yang tak berakhir. Bahkan pertemuan pun akan mengalami perpisahan. Segala pesta, kehidupan glamor, kemewahan harta, dan segala sesuatu yang menyertainya pada akhirnya akan habis juga. Kebahagiaan yang justru tak lekang oleh waktu justru tidak pernah Ia miliki, dan justru menjadi hal yang paling disesalinya seumur hidupnya.

   Kisah Oei Hui lan mungkin hanya segelintir dari kisah hidup para socialita yang selalu dipenuhi pesta, hura-hura, dan barang mewah. Namun, pelajaran hidup yang dipetik Hui Lan di akhir hidupnyalah yang patut kita jadikan pembelajaran.  Jangan mengagungkan sesuatu yang sifatnya sementara seperti harta. Akan jauh  lebih baik mengumpulkan hal yang bersifat abadi seperti kebahagiaan dan cinta, karena hal itulah yang akan menguatkan kita saat dalam keadaan paling terpuruk sekalipun.


Been published by Your Magazine – Dec 2010 Edition