Madame Wellington Koo atau Oei Hui Lan ialah anak dari Raja gula
Semarang yang sangat terkenal, yaitu Oei Tiong Ham. Kekayaan yang tidak
ada habisnya dari ayahnya ternyata tidak pernah bisa memberikan
kebahagiaan padanya. Hidup serba berkelimpahan di istananya di
Semarang-Indonesia di masa pemerintahan Hindia Belanda, melewatkan masa
mudanya di Paris, London, Amerika, hingga China saat berkeluarga,
menjadi socialita terpandang di kaum elit Eropa, menjadi istri
Wellington Koo, orang nomor dua di China saat itu ternyata juga tidak
juga bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepadanya.
Dilahirkan sebagai anak kedua dari istri sah Oei Tiong Ham, Oei Hui
Lan seolah menggenggam dunia dalam tangannya. Ayahnya yang kaya raya
selalu memanjakannya dengan memberi apapun yang Ia inginkan, bahkan
sampai membuatkan kebun binatang di istananya (istana mereka hingga
saat ini masih ada di Semarang, namun sudah menjadi sebuah universitas
swasta). Akan tetapi, tidak demikian dengan ibunya. Ibunya lebih
menyayangi kakakanya, Oei Tjong Lan, dan lebih suka berfoya-foya
membelanjakan uang ayahnya untuk membeli permata, berlian, emas,
perhiasan mewah, dan baju-baju mahal hingga ke luar negeri demi
menutupi kesedihannya akan kebiasaan buruk ayahnya yang memiliki banyak
selir dan anak di luar nikah.
Kekayaan yang dimiliki oleh ayahnya ternyata justru mengancam
kehidupan Oei Hui Lan beserta ibu dan kakaknya yang merupakan keluarga
sah dari Oei Tiong Ham. Dengan keberadaan 18 selir dan 42 anaknya,
keberadaan Hui Lan, ibu dan kakaknya selalu terancam. Para selir selalu
berusaha untuk menggantikan ibu Hui Lan untuk menjadi istri sah ayahnya
dan menguasai seluruh harta ayahnya. Ayahnya, Oei Tiong Ham, yang
dikenal sebagai Raja Gula, bahkan orang terkaya se-Asia Tenggara saat
itu memiliki pabrik tidak hanya di Pulau Jawa, tapi juga Singapura,
London, Paris, Cina, dan kota lainnya. Dengan kekayaan ayahnya, Hui Lan
dibekali kehidupan bergelimangan harta, pakaian mewah, perhiasan mahal
yang menunjukkan kastanya, berbagai kursus seperti berkuda hingga
kursus bahasa yang membuatnya menguasai 4 bahasa termasuk Inggris dan
Perancis.
Semua itu ternyata masih membuat Hui Lan tetap mencari-cari kasih
sayang di luar keluarganya. Pernah sekali waktu saat Ia, ibu dan
kakaknya berlibur ke Singapura, Ia menemukan cinta pertamanya yang
ternyata ialah seorang pria beristri. Pengalaman pahit itu membuatnya
malas untuk menjalin hubungan lagi dengan pria, dan menyetujui ibunya
untuk pindah tinggal ke London bersama kakaknya yang telah menikah.
Saat mulai masuk menjadi penghuni kota London, Hui Lan dan ibunya
menjadi orang yang sangat norak dan terkesan pamer. Ibunya yang
terobsesi untuk menjadikan Hui Lan wanita terpandang dan bisa berbaur
dengan para socialita membekali Hui Lan dengan gaun-gaun mewah dan
perhiasan mahal setiap mereka akan mengunjungi pesta. Mulai asyik
dengan kehidupan barunya, Hui Lan menjadi sangat terbiasa berpesta,
mengikuti acara para socialita Eropa, berteman dengan keluarga
kerajaan, bergaul dengan pria bule, hingga terbiasa dengan kebiasaan
ibunya untuk memberikan perhiasan mahalnya ke orang yang dekat
dengannya.
Tapi semua itu tetap membuat Hui Lan merasa tidak puas. Ia selalu
mencoba mencari cara untuk membahagiakan dirinya, tapi tidak pernah
menemukannya.Obsesi ibunya untuk membuat Hui Lan menjadi orang
terpandang akhirnya membuatnya harus menjalani kehidupan pernikahan
tanpa cinta. Menikahi Wellington Koo, orang nomor dua di China, yang
menjadi duta besar Cina untuk Amerika dalam rangka memerdekakan China
memang membawanya ke kehidupan yang jauh lebih tinggi kastanya. Ia
mulai dikenal oleh semua pembesar negara-negara yang menjalin hubungan
dengan China, berbaur dengan berbagai keluarga presiden, kerajaan,
menteri dan anggota pemerintahan dengan strata atas.
Dalam pernikahannya, suaminya tidak pernah memberi uang yang cukup
seperti ayahnya. Karena terbiasa dengan harta dan kehidupan mewah, Hui
Lan pun tak pernah segan mengeluarkan uang pribadinya untuk
membahagiakan hidupnya. Mulai dari merenovasi rumah, menghias dirinya
seperti kebiasaannya, memelihara banyak anjing sebagai temannya, dan
masih banyak hal lainnya yang berujung kecurigaan media China akan
mewahnya pola hidup Hui Lan yang saat itu lebih dikenal sebagai Madame
Wellington Koo.
Hal itu tetap tidak membuatnya kapok, Hui Lan tetap memakai uang
sesuka hati, bahkan meminta uang pada ayahnya untuk segala
keperluannya. Sampai suatu ketika, Ia, suami dan anaknya mengunjungi
Singapura untuk bertemu ayahnya yang ternyata telah menikah lagi dengan
keponakan ibunya, Ia sangat kaget dengan pola hidup ayahnya yang telah
berubah 180o. Ayahnya yang kaya raya malah hidup sederhana,
bahkan cenderung prihatin untuk ukurannya. Hidup di ruko kecil di
daerah kumuh, jauh sekali dari ingatannya tentang istana mereka saat di
Indonesia. Ia berpikir dan bertanya mengapa ayahnya mau memilih
kehidupan seperti itu, namun sepertinya Ia belum mengerti keputusan
ayahnya.
Ia masih terus hidup berfoya-foya, sampai akhirnya Perang Dunia
Kedua merenggut seluruh hartanya di China. Ia hanya bisa meratapi
semuanya, namun tetap tidak mau merubah pola hidupnya yang bak putri di
pesta dansa. Kepergian satu- persatu dari ayahnya, ibunya, lalu disusul
kakaknya akhirnya mulai menyadarkannya akan harta yang ternyata tidak
bersifat kekal, dan malah menghancurkan keluarga mereka.
Di usianya yang mulai tua, tanpa keluarga yang telah
meninggalkannya, hanya tersisa anak-anaknya, tanpa suaminya yang telah
menikah lagi dengan wanita lain, Hui Lan mulai merasa kesepian tinggal
di rumah besar dan megah. Ia pun memilih untuk tinggal di apartemen
seorang diri, dengan terlebih dahulu membekali anak-anaknya dengan
rumah-rumah pribadi. Perampokan yang terjadi di apartemen kecilnya di
Amerika saat usianya telah tualah yang akhirnya semakin menyadarkannya
bahwa Ia tidak bisa selalu hidup memamerkan hartanya, dan membawa-bawa
hartanya ke manapun Ia pergi. Ia pun mulai menyimpan seluruh harta dan
perhiasan mewahnya di bank, dan hanya menyisakan sedikit di
apartemennya.
Kehidupannya yang bergelimangan harta, namun tetap tidak bisa
membeli cinta dan kebahagiaan terasa begitu sayang baginya untuk
dilewatkan. Bersama temannya, Hui Lan pun membuat sebuah buku kisah perjalanan hidupnya yang
hanya terbit di Amerika, berjudul “No Feast Last Forever”,
sesuai dengan jalan hidup yang akan ditempuh semua orang. Tidak ada
pesta yang tak berakhir. Bahkan pertemuan pun akan mengalami
perpisahan. Segala pesta, kehidupan glamor, kemewahan harta, dan segala
sesuatu yang menyertainya pada akhirnya akan habis juga. Kebahagiaan
yang justru tak lekang oleh waktu justru tidak pernah Ia miliki, dan
justru menjadi hal yang paling disesalinya seumur hidupnya.
Kisah Oei Hui lan mungkin hanya
segelintir dari kisah hidup para socialita yang selalu dipenuhi pesta,
hura-hura, dan barang mewah. Namun, pelajaran hidup yang dipetik Hui
Lan di akhir hidupnyalah yang patut kita jadikan pembelajaran. Jangan
mengagungkan sesuatu yang sifatnya sementara seperti harta. Akan jauh
lebih baik mengumpulkan hal yang bersifat abadi seperti kebahagiaan dan
cinta, karena hal itulah yang akan menguatkan kita saat dalam keadaan
paling terpuruk sekalipun.
Been published by Your Magazine – Dec 2010 Edition